I. Pendahuluan
Sepanjang tiga dekade terakhir, pertumbuhan dan perkembangan lembaga perbankan syariah mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik di dunia internasional maupun di Indonesia. Konsep perbankan dan keuangan Islam yang pada mulanya di tahun 1970-an hanya merupakan diskusi teoritis, kini telah menjadi realitas faktual yang mencengangkan banyak kalangan.
Pada era modern ini, perbankan syariah telah menjadi fenomena global, termasuk di negara-negara yang tidak berpenduduk mayoritas muslim. Berdasarkan prediksi McKinsey tahun 2008[2], total aset pasar perbankan syariah global pada tahun 2006 mencapai 0,75 miliar dolar AS. Diperkirakan pada tahun 2010 total aset mencapai satu miliar dolar AS. Tingkat pertumbuhan 100 bank syariah terbesar di dunia mencapai 27 persen per tahun dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan 100 bank konvensional terbesar yang hanya mencapai 19 persen per tahun.
Di Indonesia, pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah juga tumbuh makin pesat. Krisis keuangan global di satu sisi telah membawa hikmah bagi perkembangan perbankan syariah. Masyarakat dunia, para pakar dan pengambil kebijakan ekonomi, tidak saja melirik tetapi lebih dari itu mereka ingin menerapkan konsep syariah secara serius.
Selain itu prospek perbankan syariah makin cerah dan menjanjikan. Bank syariah di Indonesia, diyakini akan terus tumbuh dan berkembang. Perkembangan industri lembaga keuangan syariah ini diharapkan mampu memperkuat stabilitas sistem keuangan nasional. Harapan tersebut memberikan suatu optimisme melihat penyebaran jaringan kantor perbankan syariah saat ini megalami pertumbuhan yang sangat pesat.[3]
Namun demikian masa depan dari industri perbankan syariah, akan sangat bergantung pada kemampuannya untuk merespons perubahan dalam dunia keuangan. Fenomena globalisasi dan revolusi teknologi informasi, menjadikan ruang lingkup perbankan syariah sebagai lembaga keuangan telah melampaui batas perundang-undangan suatu negara. Implikasinya adalah, sektor keuanganpun menjadi semakin dinamis, kompetitif dan kompleks. Terlebih lagi adanya tren pertumbuhan merger lintas segmen, akuisisi, dan konsolidasi keuangan, yang membaurkan risiko unik tiap segmen dari industri keuangan tersebut.
Lebih lanjut terdapat kecenderungan perkembangan sistem pencatatan, matematika keuangan dan inovasi teknik manajemen risiko yang tidak dapat diprediksi. Perkembangan tersebut disinyalir akan semakin menambah tantangan yang dihadapi oleh perbankan syariah, terutama dengan masuknya lembaga keuangan konvensional yang juga menawarkan produk-produk keuangan syariah.
Selain itu risiko menghadapi system keuangan global bukanlah kesalahan tentang kemampuan menciptakan laba, tetapi yang lebih penting adalah kehilangan kepercayaan dan kredibiliatas tentang bagaimana operasional kerjanya. Oleh karena itu perbankan syariah perlu membekali diri dengan kemampuan manajemen sistem operasi yang mutakhir untuk menyikapi perubahan lingkungan tersebut. Salah satu faktor utama yang dapat menentukan kesinambungan dan pertumbuhan industri perbankan syariah adalah, seberapa intens lembaga ini dapat mengelola risiko yang muncul dari layanan keuangan syariah yang diberikan.
Dalam kerangka itu, tulisan ini mencoba mendiskusikan beberapa isu yang berkaitan dengan manajemen risiko perbankan syariah, baik profil risiko maupun optimalisasi peran DPS (Dewan Pengawas Syari’ah).
II. Profil Risiko Perbankan Syariah
Kajian manajemen risiko memang tengah naik daun. Lembaga keuangan termasuk bank syariah, setidaknya telah mengakui bahwa mereka harus memperhatikan cara-cara untuk memitigasi risiko agar bisa tetap mempertahankan daya saing, profitabilitas, dan loyalitas nasabah. Oleh karena itu bank-bank tengah berselancar pada penerapan manajemen risiko yang merupakan proses berkesinambungan serta memakan banyak pikiran, tenaga, dan uang.
Dalam konteks penerapan manajemen risiko, pedoman yang dijalankan selama ini, dibuat hanya untuk bank-bank konvensional. Padahal pemain dalam bisnis perbankan dunia dan nasional tidak hanya bank konvensional, tetapi juga telah diramaikan oleh bank dengan prinsip syariah yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Maka bagaimana penerapan manajemen risiko pada bank-bank syariah?
Secara historis penerapan manajemen risiko pada bank, dalam hal ini BI sendiri baru mulai menerapkan aturan perhitungan capital adequacy ratio (CAR) pada bank sejak 1992.[4] Sementara itu, bank dengan prinsip syariah lahir pertama kali di Indonesia pada tahun yang sama. Jadi jika dilihat dari usia sistem perbankan syariah, hal ini merupakan tantangan yang berat. Bank syariahpun akan sangat sulit mengikuti konsep yang telah dijalankan perbankan konvensional dalam hal manajemen risiko, mengingat perbankan konvensional membutuhkan waktu yang panjang untuk membangun sistem dan mengembangkan teknik manajemen risiko .
Di Lain pihak, operasi bank syariah memiliki karakteristik dengan perbedaan yang sangat mendasar jika dibandingkan dengan bank konvensional, sementara manajemen risiko juga harus diimplementasikan oleh bank syariah agar tidak hancur dihantam risiko. Oleh karena itu, apa yang dapat dilakukan? Cara yang paling cepat dan efektif adalah mengadopsi sistem manajemen risiko bank konvesional yang disesuaikan dengan karakteristik perbankan syariah. Inilah yang dilakukan BI sebagai regulator perbankan nasional yang akan menerapkan juga bagi perbankan syariah.
Dalam hal ini Islamic Financial Services Board (IFSB), telah merumuskan prinsip-prinsip manajemen risiko bagi bank dan lembaga keuangan dengan prinsip syariah. Pada 15 Maret 2005 yang lalu, exposure draft yang pertama telah dipublikasikan. Dalam executive summary draft tersebut dengan jelas disebutkan bahwa kerangka manajemen risiko lembaga keuangan syariah mengacu pada Basel Accord II (yang juga diterapkan perbankan konvensional) dan disesuaikan dengan karakteristik lembaga keuangan dengan prinsip syariah.[5]
Secara umum, risiko yang dihadapi perbankan syariah bisa diklasifikasikan menjadi dua bagian besar. Yakni risiko yang sama dengan yang dihadapi bank konvensional dan risiko yang memiliki keunikan tersendiri karena harus mengikuti prinsip-prinsip syariah. Risiko kredit, risiko pasar, risiko benchmark, risiko operasional, risiko likuiditas, dan risiko hukum, harus dihadapi bank syariah. Tetapi, karena harus mematuhi aturan syariah, risiko-risiko yang dihadapi bank syariah pun menjadi berbeda.
Bank syariah juga harus menghadapi risiko-risiko lain yang unik (khas). Risiko unik ini muncul karena isi neraca bank syariah yang berbeda dengan bank konvensional. Dalam hal ini pola bagi hasil (profit and loss sharing)[6] yang dilakukan bank syari’ah menambah kemungkinan munculnya risiko-risiko lain. Seperti withdrawal risk, fiduciary risk, dan displaced commercial risk[7] merupakan contoh risiko unik yang harus dihadapi bank syariah. Karakteristik ini bersama-sama dengan variasi model pembiayaan dan kepatuhan pada prinsip-prinsip syariah.
Konsekuensinya, teknik-teknik yang digunakan untuk melakukan identifikasi, pengukuran, dan pengelolaan risiko pada bank syariah dibedakan menjadi dua jenis. Teknik-teknik standar yang digunakan bank konvesional, asalkan tidak bertentangan dengan prinsip syariah, bisa diterapkan pada bank syariah. Beberapa di antaranya, GAP analysis, maturity matching, internal rating system, dan risk adjusted return on capital (RAROC).[8]
Di sisi lain bank syariah bisa mengembangkan teknik baru yang harus konsisten dengan prinsip-prinsip syariah. Ini semua dilakukan dengan harapan bisa mengantisipasi risiko-risiko lain yang sifatnya unik tersebut.
Survei yang dilakukan Islamic Development Bank (2001) terhadap 17 lembaga keuangan syariah dari 10 negara mengimplikasikan, risiko-risiko unik yang harus dihadapi bank syariah lebih serius mengancam kelangsungan usaha bank syariah dibandingkan dengan risiko yang dihadapi bank konvesional. Survei tersebut juga mengimplikasikan bahwa para nasabah bank syariah berpotensi menarik simpanan mereka jika bank syariah memberikan hasil yang lebih rendah daripada bunga bank konvesional.[9] Lebih jauh survei tersebut menyatakan, model pembiayaaan bagi hasil, seperti diminishing musyarakah, musyarakah, mudharabah, dan model jual-beli, seperti salam dan istishna’, lebih berisiko ketimbang murabahah dan ijarah.
Dalam pengembangannya ke depan, perbankan syariah menghadapi tantangan yang tidak ringan sehubungan dengan penerapan manajemen risiko ini seperti, pemilihan instrumen finansial yang sesuai dengan prinsip syariah termasuk juga instrumen pasar uang yang bisa digunakan untuk melakukan hedging (lindung nilai ) terhadap risiko. Oleh karena BI dan IFSB mengacu pada aturan Basel Accord II, maka pemahaman yang matang mengenai manajemen risiko bank konvensional akan sangat membantu penerapan manajemen risiko di bank syariah.
III. Optimalisasi Peran Dewan Pengawas Syari’ah
Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) memiliki peran penting dan strategis dalam penerapan prinsip syariah di perbankan syari’ah. DPS bertanggung jawab untuk memastikan semua produk dan prosedur bank syariah sesuai dengan prinsip syariah. Karena pentingnya peran DPS tersebut, maka dua Undang-Undang di Indonesia mencantumkan keharusan adanya DPS tersebut di perusahaan syariah dan lembaga perbankan syariah, yaitu Undang-Undang UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dengan demikian secara yuridis, DPS di lembaga perbankan menduduki posisi yang kuat, karena keberadaannya sangat penting dan strategis.[10]
Berdasarkan Undang-Undang tersebut, setiap perusahaan yang berbadan hukum Perseroan Terbatas wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariah. Sejalan dengan itu, Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang perbankan syari’ah, pasal 32 menegaskan hal yang sama.[11]
Berdasarkan kedua Undang-Undang tersebut kedudukan DPS sudah jelas dan mantap serta sangat menentukan pengembangan bank syariah dan perusahaan syariah di masa kini dan masa mendatang.
Tetapi peran DPS tersebut belum optimal dalam menjalankan pengawasan syari’ah terhadap operasional perbankan syariah. sehingga berakibat pada pelanggaran syariah complience, maka citra dan kredibilitas bank syariah di mata masyarakat bisa menjadi negatif, sehingga dapat menurunkan kepercayaan masyarakat kepada bank syariah bersangkutan.
Menurut hasil penelitian Bank Indonesia (2008) kerjasama dengan Ernst dan Young yang dibahas dalam seminar akhir tahun 2008 di Bank Indonesia, salah satu masalah utama dalam implementasi manajemen risiko di perbankan syariah adalah peran DPS yang belum optimal.[12] Pernyataan itu disimpulkan para peneliti sebagai kesenjangan utama manajemen risiko yang harus diperbaiki di masa depan.
Jenis manajemen risiko yang terkait erat dengan peran DPS adalah risiko reputasi yang selanjutnya berdampak pada displaced commercial risk, seperti risiko likuiditas dan risiko lainnya. Shanin A.Shayan CEO and Board Member of Barakat Foundation menyatakan bahwa, risiko terbesar menghadapi system keuangan global bukanlah kesalahan tentang kemampuan menciptakan laba, tetapi yang lebih penting adalah kehilangan kepercayaan dan kredibiliatas tentang bagaimana operasional kerjanya.[13]
Oleh karena itu peran DPS perlu dioptimalkan, agar mereka bisa memastikan segala produk dan sistem operasinal bank syariah benar-benar sesuai syariah. Untuk memastikan setiap transaksi sesuai dengan syari’ah, anggota DPS harus memahami ilmu ekonomi dan perbankan dan berpengalaman luas di bidang hukum Islam. Dengan demikian kualifikasi menjadi anggota DPS harus memahami ilmu ekonomi dan keuangan serta perbankan serta expert di bidang syariah.
Namun sangat disayangkan, masih terdapat DPS yang belum memahami ilmu ekonomi keuangan dan perbankan. Selain itu mereka juga masih banyak yang tidak melakukan supervisi dan pemeriksaan akad-akad yang ada di perbankan syariah. Padahal menurut ketentuannya, DPS bekerja secara independen dan bebas untuk meninjau dan menganalisa pada semua kontrak dan transaksi.[14]
Mengacu pada kualifikasi DPS tersebut di atas, maka bank-bank syariah di Indonesia perlu melakukan restrukturisasi, perbaikan dan perubahan ke arah yang lebih baik dan mengangkat DPS dari kalangan ilmuwan ekonomi Islam yang berkompeten di bidangnya. Hal ini mutlak perlu dilakukan agar perannya bisa optimal dan menimbulkan citra positif bagi pengembangan bank syariah di Indonesia
Pengalaman selama ini, bank-bank syariah di Indonesia mengangkat DPS, yakni orang yang sangat terkenal di ormas Islam atau terkenal dalam ilmu keislaman (bukan syariah), tetapi tidak berkompeten dalam bidang perbankan dan keuangan syariah. Realitas ini di satu sisi menguntungkan bagi manajemen perbankan syariah, karena mereka lebih bebas berbuat apa saja, karena pengawasannya sangat longgar.
Tetapi dalam jangka panjang hal ini justru merugikan gerakan ekonomi syariah, tidak saja bagi bank syariah bersangkutan tetapi juga bagi gerakan ekonomi dan bank syariah secara keseluruhan dan kemajuan bank syariah di masa depan. Karena itu, tidak aneh jika banyak masyarakat yang memandang bahwa bank syariah sama dengan bank konvensional.
Tetapi harus diakui, bahwa sebagian DPS bank syariah sudah berperan secara optimal, meskipun masih lebih banyak yang belum optimal. Inilah yang harus ditangani Bank Indonesia, DSN MUI dan bank-bank syariah sendiri. Oleh karena itu, UU yang memposisikan DPS yang demikian strategis, harus diimplementasikan dengan tepat dan cepat. Untuk itu setiap manajemen bank syariah harus melakukan formalisasi peran dan keterlibatan DPS dalam memastikan pengelolaan risiko ketidakpatuhan atas peraturan dan prinsip syariah.
IV. Penutup
Dari paparan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
A. Kapasitas manajemen risiko yang efisien adalah bagaimana bank syariah mampu menempatkan posisi secara strategis dalam pasar global dengan mereduksi semua risiko. Tidak adanya sistem manajemen risiko yang sehat dan kuat dapat menghilangkan bank syariah dari kemampuannya dalam mengatasi risiko, dan dapat mengurangi kontribusi potensialnya.
B. Sumber daya yang memadai perlu dicurahkan untuk pengukuran dan identifikasi risiko serta pengembangan teknik-teknik manajemen risiko. Dalam hal ini, ada kebutuhan yang mendesak untuk mengkombinasikan pemahaman hukum syariah yang solid dengan pengetahuan teknik manajemen risiko modern yang kuat sehingga mampu mengembangkan mitigasi risiko yang inovatif.
C. Fungsi dan peran DPS di bank syariah, memiliki relevansi yang kuat dengan manajemen risiko perbankan syariah, yakni risiko reputasi, yang selanjutnya berdampak pada risiko lainnya seperti risiko likuiditas. Pelanggaran syariah complience yang dibiarkan atau luput dari pengawasan DPS, akan merusak citra dan kredibilitas bank syariah di mata masyarakat, sehingga dapat menurunkan kepercayaan masyarakat kepada bank syariah bersangkutan. Untuk itulah peran DPS di bank syariah harus benar-benar dioptimalkan, kualifikasi menjadi DPS harus diperketat, dan formalisasi perannya harus diwujudkan di bank syariah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Agustianto, Evaluasi Bank Syari’ah 2008 dan Outlook Bank Syari’ah 2009. Dikutip dari http://www.kamusmalesbanget.com/content/EVALUASI-BANK-SYARIAH-2008-DAN- OUTLOOK-BANK-SYARIAH-2009. accsessed 16 Feb 2009 15:06:59 GMT
-----------DPS dan Manajemen Risiko Perbankan Syari’ah, Dikutip dari http://agustianto.niriah.com/2008/12/21/dps-dan-manajemen-risiko-bank-syariah/. Accsessed 4
Mar 2009 19:09:10 GMT
Greuning, H. and S. Bratanovic (2003), “Analyzing and Managing Banking Risk: A Framework for Assessing Corporate Governance and Financial Risk”, (2nd edition). World Bank Publication.
Khan & Ahmed (2001), “Risk Management: An Analysis of Issues in Islamic Financial Industry”. Occasional Paper no. 5. Islamic Research and Training Institute: Islamic Development Bank
Majalah ekonomi dan bisnis syari’ah SHARING, edisi 26 thn.III-Pebruari 2009
Tedy Fardiansyah Idris, Tantangan Manajemen Risiko Bank Syari’ah, dikutip dari InfoBankNews.com
Tariqullah Khan dan Habib Ahmed, Manajemen Risiko Lembaga Keuangan Syariah, penerjemah dan pengantar Ikhwan Abidin Basri, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008).
Undang-undang Nomer 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Undang-undang Nomer 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah.
Narasumber: Rahmani Timorita Yulianti, Dra. MAg.