Usia Cia dua puluh tahun. Tapi, sampai seusia itu Cia belum juga pernah merasakan yang namanya pacaran. Kalau dulu hingga waktu SMA mungkin Cia bisa menerima, karena memang belum dapat ijin pacaran oleh kedua orangtuanya. Dan lagian, dulu itu Cia nggak merasa kesepian setiap malam Minggu, karena ada Mbak Jiah, sang kakak yang sekarang kuliah di Jerman. Tapi sekarang? Setiap malam Minggu Cia cengok kesepian dan setiap Senin paginya, dia cuma jadi kambing congek mendengarkan cerita seru Mia dan Karin yang bercerita panjang lebar tentang akhir minggu mereka bersama pacar-pacarnya.
Makanya sekarang, hamper setiap hari Cia merengek minta dicariin pacar oleh Mia dan Karin, dua sahabat di kampusnya yang memang sudah duluan punya gebetan. Pacar Mia namanya Yoga, Ketua BEM Fakultas Ekonomi dan pacar Karin bernama Yudha anak band kampus.
“Trus, siapa dong?” Tanya Mia bingung di depan Karin. Dua minggu sudah telinganya pengeng mendengar rengekan Cia yang seperti anak kecil nggak dikasih balon oleh ibunya.
“Hmm…,gimana kalo kita kenalin dia sama Kyo?” usul Karin.
“Hah? Kyo? Anak desain rese’ itu? Nggak deh. Jangan!” protes Mia nggak setuju. “Masak iya sih, Cia kita kenalin sama Kyo? Kamu tau sendiri kan, Cia itu anaknya pemalu berat, sementara Kyo anaknya rese’ abis dan iseng banget. Nggak bakalan ketemu tauk! Ada-ada aja deh.”
“Tapi nggak ada salahnya kan, dicoba? Siapa tau aja mereka jodoh,” keukeuh Karin. Apapun itu, kalau tidak dicoba, tidak akan pernah berhasil. Kalau nyoba aja nggak berani, gimana bisa mendapatkan hasil?”
Mia tetap protes nggak setuju dengan usul Karin.
“Trus, siapa lagi dong? Kita udah ngenalin banyak cowok lho ke Cia, tapi ujung-ujungnya apa? Mereka pada ngabur semua, kan? Udah deh, mendingan kita coba aja yang ini, siapa tahu berhasil. Oke?” Karin terus mendesak hingga akhirnya Mia mengalah dan setuju dengan usulan Karin.
“Ya udah, kita kenalin aja Cia sama dia,” ujar Mia. “Kapan kamu bisa nemuin Kyo? Kamu kan tetangga deket rumahnya?”
“Eit, ntar dulu!” potong Karin. “Janan terburu-buru begitu. Slow but sure. Pelan tapi pasti, supaya penuh dengan kejutan. Kalo langsung nemuin mereka, nggak surprise.” Kata Karin berapi-api seperti Orator sebuah kampanye.
“Aku nggak ngerti deh maksud kamu,” tandas Mia bingung.
“Tenang aja. Aku yang bakalan nanganin,” kata Karin. “Mana sini nomer teleponnya Kyo, biar aku catet,” pinta Karin.
“Kok minta nomernya ke aku? Bukannya yang punya nomernya kamu ya?” sanggah Mia dan Karin langsung nyengir. Saking semangatnya, ampai lupa.
*
“Ini nomer siapa?” Tanya Cia bingung begitu Karin datang ke rumahnya dan menyuruh Cia untuk mencatatnya.
“Udah, catet aja, nanti juga kamu tau sendiri,” sahut Karin dan tanpa memperdulikan pertanyaan-pertanyaan Cia, ia mengeja nomor telepon Kyo dari handphone warna biru-nya. “Kosong delapan satu tiga, dua tiga kali, empat lima…,”
Cia menuliskan nomer yang dieja oleh Karin. Tapi ternyata yang ditulis oleh Cia adalah keliru. Nomer yang seharusnya 2 tiga kali, tapi ia tulis 2 dan 3 tiga kali.
“Udah?” Tanya Karin.
Cia mengangguk. “Tapi ini nomer siapa?”
“Itu nomer cowok cakep,” jawab Karin. “Nah, sekarang aku udah kasih nomer telepon cowo ke kamu, sekarang tinggal kamu hubungin dia,” tegas Karin.
“Ya ampun, Rin. Mana berani aku nelpon dia?” protes Cia seram.
“Kenapa nggak berani?” Tanya Karin. “Eh, kamu emang pemalu, tapi dengan menelpon kan, kamu nggak berhadapan langsung dengan orangnya? Jadi, kamu nggak perlu malu kali,”
Cia ragu. Tapi ia harus mencobanya, mengingat keinginannya yang kuat untuk memiliki pacar seperti Karin dan Mia. Dan benar kata Karin, ia nggak boleh malu, karena toh hanya bicara di telepon dan orang yang diajak bicara itu nggak mungkin mmemandangi wajah Cia yang setiap kali dipandang oleh cowok selalu menampakkan wajah yang merah padam.
Dan malam harinya sebelum nelpon ke nomor yang diberikan Karin itu, ia sempat mondar-mandir ragu dan kebingungan di dalam kamarnya. Bahkan beberapa kali ia menghitung kancing bajunya untuk mendapatkan jawaban antara nelpon atau tidak. Dan ternyata jawabannya yang didapat selalu, menelepon!
“Aduh, gimana dong? Nanti kalo orangnya marah gimana?” bingung Cia. Ia masih belum berani juga untuk menghubungi nomer telepon itu. Dan saking bingungnya, ia pun kemudian menghubungi Karin. Tapi sayangnya, Handphone dan telepon rumah Karin sibuk semua. Cia pun mengalihkan pada Mia, tapi ternyata Mia sedang tidak ada di rumah dan HP-nya nggak dibawa.
Cia semakin kebingungan. Tapi, dengan jantung berdebar-debar dan tubuh menggigil, akhirnya ia coba juga untuk menelpon. Darahnya semakin mendesir begitu sambungan teleponnya tersambung ke nomer yang dituju.
“Halo…, halo…,” terdengar sahutan.
“Akkhhh!” Cia langsung menutup teleponnya karena ketakutan.
Sementara di tempat yang jauh terlihat seorang cowok menutup teleponnya dengan heran. Lalu ia meletakkan Hp-nya di atas meja dan kembali mengerjakan tugasnya.
*
“Gimana, Ci? Kamu udah ngubungin dia, belum?” Tanya Karin dan Mia penasaran keesokan paginya di depan perpustakaan mencegat Cia yang baru saja keluar dari perpus kampus.
Cia menggeleng. Dan begitu baru keluar dari pintu, Cia nyaris terjatuh ketika seorang cowok keluar dengan terburu-buru dari dalam perpustakaan. Cia melotot marah.
“Ma-maaf.” Kata cowok itu terbata lalu pergi.
“Kamu gimana sih, Ci? Semaleman kamu ngapain aja? Bukannya nelponin dia?” kesal Mia.
“Aku sempet nelpon sih,” jujur Cia.
“Trus?” Krin semakin penasaran.
“Begitu dia nyahut, aku langsung tutup.”
“Ya ampun Cia, kamu jadi anak gitu banget sih?” kata Karin geleng-geleng kepala. “Kan aku udah bilang, kamu tuh nggak usah malu, karena kamu nggak berhadapan langsung sama dia!”
“Tapi aku atkut, Rin…,” ujar Cia.
“Udah deh, terserah kamu aja. Aku nggak mau lagi bantuin kamu. Aku capek tauk. Bantuin orang, tapi yang dibantuin malah kayak begitu.” Kesal Karin.
“Maaf ya, jangan marah gitu dong,” bujuk Cia memegang bahu Karin yang berwajah jutek kesal.
“Lagian kamu sih, Ci, bukannya nelpon, malah ketakutan begitu,” Mia ikut menimpali menyalahkan Cia.
“Iya deh, iya, aku janji, nanti malam aku bakalan nelpon.” Janji Cia menyenangkan kedua temannya itu.
“Nah, gitu dong.” Ujar Karin dan Mia semangat karena senang mendengar jawaban Cia. Mereka berharap semuanya akan berjalan dengan lancer dan tidak berapa lama lagi, mereka akan segera melihat Cia memiliki pacar bernama Kyo.
*
Akhirnya, Cia memberanikan diri menelpon nomor yang diberikan oleh Karin. Nomor yang kemarin malam sempat dihubunginya itu. Kali ini Cia, harus berani bicara dengannya tanpa harus takut-takut, karena ia sudah berjanji pada Karin dan Mia. Pasti besok di kampus, mereka akan segera menagih janji Cia.
Sambungan terhubung.
“Halo…,”
Cia mencoba untuk tenang. Meyakinkan dirinya bahwa orang yang sedang bicara dengannya tidak sedang melihat wajahnya.
“Ya halo…,” sahut Cia masih agak gemetar.
“Siapa, nih?” suara cowok itu terdengar jelas.
“Aku Cia,”
“Cia? Ada apa, ya?” tanyanya ingin tahu. Sementara Cia sudah mulai bisa menguasai perasaan nervous-nya secara perlahan.
“Enggak, Cuma mau nelpon aja,” sahut Cia.
“Kemarin, kamu nelpon, ya? Kok di matiin sih?” tanyanya.
Cia malu. Untungnya ia tidak berhadapan langsung dengan cowok itu. Tiba-tiba Cia teringat sesuatu. Sepertinya ia pernah mendengar suara itu, tapi dimana, ya? Cia penasaran.
“Halo…,”
“Oh, i-iya,” sahut Cia terbata tapi setelah itu ia bisa menguasai diri lagi. “Kemarin itu batere aku low bat, jadi Hp nya langsung mati,” bohong Cia.
“Oh begitu…,”
Cowok itu nggak banyak ngomong. Hanya kalau ditanya saja ia menjawab. Selebihnya jadi Cia yang banyak ngomong. Ternyata memang benar kata Karin, Cia nggak perlu malu berbicara dengan orang lewat telepon.
*
Karin yang sudah menunggu Cia bersama Mia di depan pintu gerbang kampus, langsung menyembur Cia dengan omelan, begitu Cia muncul di kampus keesokan harinya. Karin kesal karena Cia tela membohonginya. Janji Cia kemarin hanya isapan jempol belaka. Soalnya, begitu pagi tadi Karin ketemu dengan Kyo, tetangga rumahnya yang dijodohkan dengan Cia itu dan bertanya tentang seseorang yang menelponnya, Kyo menjawab tidak ada. Dengan begitu, berarti tadi malam Cia nggak menelponnya.
“Lho, kok kamu bisa nuduh aku nggak menepati janji begitu sih? Alasannya apa?” elak Cia nggak mau disalahkan oleh Karin. Karena memang ia sudah menepati janjinya pada Karin, menelepon nomor yang diberikan Karin itu tadi malam. Bahkan Cia sempat bicara panjang lebar, bahkan siang ini dia janji ketemuan di depan halte kampus. Ternyata cowok itu satu kampus dengan Cia.
“Mau tau alasannya? Karena kamu nggak nelpon dia!” kesal Karin.
Cia heran. “Dari mana kamu tau aku nggak nelpon dia?”
Karin bingung mau ngejawab apa. Soalnya dia nggak mau Cia tahu, kalau nomor itu adalah milik Kyo. Cowok rese’ yang pernah diceritakan berulang kali oleh Karin. Karin bukannya ingin menjodohkan dengan yang tidak benar. Tapi, semata-mata Karin ingin agar Cia memiliki pacar yang sudah lama diinginkannya. Soalnya, Karin pernah mendengar, kalau Cia pernah ada rasa sama Kyo. Dan Karin juga melihat, kalau belakangan ini Kyo suka memperhatikan Cia.
“Aku justru tadi malem nelpon dia dan kita sempat janjian,” jelas Cia dengan mata menerawang membayangkan sebuah pertemuan sepulang kuliah nanti.
“Ah, masak sih?” Mia yang sedari tadi diam ikut-ikutan bicara.
Karin tercenung. Benarkah begitu? Tapi kenapa tadi pagi waktu ditanya, Kyo nggak ngaku ya? Apa Kyo bohong? Kayaknya Kyo nggak pernah bohong deh sama aku? Aku tau kok siapa dia. Soalnya, aku kan berteman sama dia udah dari kecil, pikir Karin.
Cia kemudian pergi meninggalkan Mia dan Karin yang masih kebingungan dan menebak-nebak tanpa mendapatkan jawaban.
*
Pulang kuliah Cia jalan sendiri, tanpa mau ikut dengan Karin dan Mia seperti biasanya. Masalahnya, siang ini Cia punya janji dengan cowok yang tadi malam ditelponnya itu. Sementara Mia dan Karin penasaran tanpa Cia ketahui, mereka ngumpet-ngumpet bersembunyikarena penasaran, ingin melihat dengan siapa Cia akan mengadakan pertemuan. Apa benar dengan Kyo?
Cia menunggu di halte bus depan kampus siang itu dengan jantung berdebar-debar sambil membayangkan sosok cowok yang akan menemuinya. Ia sudah berjanji untuk menyingkirkan sementara rasa malunya itu, kalau ingin memiliki cowok.
Tiba-tiba datang seorang cowok berkulit putih lumayan cakep dan duduk di sebelah Cia. Cia sempat kaget melihat cowok yang pernah menabraknya di perpustakaan itu. Tapi kemudian, Cia cuek karena ada sesuatu yang lebih penting daripada memikirkan cowok itu.
“Cia, ya?” Tanya cowok itu sambil memandang Cia.
Cia menoleh. Meneliti wajah cowok disampingnya itu. Jantungnya masih berdegup kencang. Tiba-tiba ia teringat dengan suara itu. Suara yang sepertinya tidak asing lagi dan pernah ia dengar sebelumnya.
“Ka-kamu…?” Cia tertegun. Ia tidak percaya dengan penglihatannya. Ternyata cowok yang ia telpon itu adalah cowok terpopuler di angkatannya? Kok bisa? Batin Cia bingung. Bukankah menurut Karin, cowok itu anak rese’ ya?
Cowok itu mengangguk dan memberikan senyum termanisnya. “Aku Aditya,” katanya sambil mengulurkan tangannya ke depan Cia. “Aku yang kamu telpon tadi malam…,”
Cia tidak juga bereaksi. Tetap berdiridengan kebingungannya sendiri.
Sementara itu Mia dan Karin saling pandang dari persembunyiannya. Mereka tidak menyangka kalau Cia ternyata janjian dengan cowok terpopuler di kampus yang selalu digandrungi oleh cewek-cewek kampus. Bukan dengan Kyo. Kok bisa?***
Rabu, 27 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar