“Sebenarnya, apa sih yang lo cari? Emang masih kurang ya?” tanya Theo tanpa melirik ke arah Cia, asyik berkutat dengan majalah bola yang ada di tangannya. Cia menghela nafas berat dan menoleh.
“Apanya yang kurang?” dia balik bertanya dengan nada malas. Oh, no. Dia mau ngebahas masalah itu lagi. Pikirnya panik.
“Lo pasti tau maksud gue. Jangan sok nggak tahu gitu, deh.” Suara Theo tiba-tiba meninggi.
“Soal Arya lagi?” Cia manyun,
“ya, iya lah!”
Cia berdecak kesal mendengar nada suara Theo.
“Galak amat sih? Gue kan cewek. Lembut dikit dong,” protesnya masih dengan wajah disabar-sabarin. Bisa berabe kalau anak ini ngamuk. Bakalan nggak mau ketemu sebulan.
“Apa kita bakal terus ngebahas soal Arya? Gue udah putus sama dia. Untuk yang ke 3567 kali gue kasih tau, males ngomongin hal yang nggak perlu diomongin.” Theo melirik tajam. Cia malah sok cuek, pura-pura gak lihat.
“Kita bakalan terus ngomongin itu sampe gue bosen. Ngerti?”
Cia mencibir.
“Apa yang kurang dari Arya sih? Dia tajir, baik, sayang banget sama elo, ganteng. Cewek manapun pasti naksir sama cowok yang model begitu. Lo nggak tau berterimakasih, ya?” Theo tampak nggak peduli sama ekspresi wajah Cia yang kelihatan maleeees banget ngomongin mantan pacarnya.
“Kekurangannya adalah perhatian. Dia sama sekali nggak peduli sama gue. Jarang telepon, jarang dateng. Malem minggu aja paling setahun sekali.”
“itu alasan basi kaleee,” cela Theo santai.
“Basi? Itu alasan yang paling logis tauuuk…” Cia nggak terima diremehin lagi.
“Oke-oke. Kalau itu bener, terus kenapa lo bisa suka sama gue? Apa sih bagusnya gue?” Theo meletakkan majalah di atas meja, menandakan ia siap memulai pembicaraan serius dengan dengan mantan sahabatnya itu.
Cia tersenyum seraya bangkit dari tempat duduk dan pindah ke sebelah Theo. Ia menggayut lengan cowok itu manja.
“Ya karena lo itu baik, lo ngertiin gue, lo perhatian.”
“Itu doang?”
“Masih banyak alas an lainnya. Lo bisa melihat gue secara obyektif, tanpa memandang status gue sebagai sahabat. Lagian lo juga ganteng.”
Theo terdiam. Ge-er. Cia melirik lagi dengan mimik senang. Mengira ia berhasil membungkam cowok yang terkenal terlalu banyak berfikir tersebut.
“Alasan yang cukup kuat kan?” tanyanya lagi sambil menyenggol lengan Theo.
“Iya… cukup. Tapi lo kan tau gue nggak mau terikat. Gue nggak mau punya pacar. Gue nggak mau kita berantem trus musuhan kalo misalnya sampe jadian. Lo nggak keberatan dengan keadaan tanpa status kayak gini?” Theo menatap wajah Cia lekat-lekat, membuat hati Cia lumer.
“Nggak apa-apa. Lo ada di deket gue aja juga udah cukup,” sambut Cia nggak peduli.
***
Malam minggu kelabu bagi Cia. Hujan turun dari sore hingga malam hari, membuat udara semakin menggigit kulit. Cia sekali lagi memandang sosok di seberang jalan dengan mata nggak percaya. Sejenak dia bingung harus berbuat apa, namun akhirnya ia meraih ponsel biru dari dalam tasnya. Sekali tekan terdengar nada sudah tersambung. Sekali… dua kali… hingga tujuh kali terdengar nada sambung, tapi nggak kunjung di angkat. Cia menelan ludah yang serasa nyangkut di tenggorokan. Ia mematikan panggilan tadi dan mencoba sekali lagi. Nihil. Lagi dan lagi. Hingga panggilan kelima barulah telepon tersebut di angkat.
“Halo,” suara Theo terdengar janggal.
“Lo di mana?” Tanya Cia dengan perasaan campur aduk.
“Masih di sekolah.”
Pendek dan singkat.
“Jam segini?” cecar Cia berusaha menjaga nada suaranya se-normal mungkin.
“Iya. Kenapa?”
Cia tertawa sumbang.
“Siapa cewek berambut pendek itu?” Tanya Cia hamper tak terdengar. Senyap.
“Theo, kenapa dia megang tangan kamu?”
“Cewek mana sih? Gue sendirian kok.”
Pembohong… desis Cia kesal.
“Lo nggak bohong, kan?”
“Nggak lah. Lagian kalau pun gue sama cewek lain, itu bukan urusan lo.”
“Apa?”
“Meskipun deket, bukan berarti lo memiliki gue. Gue berhak suka sama cewek mana pun. Toh kita nggak terikat.”
Cia terdiam.
“Gue jujur sama lo, tapi bukan berarti gue setia sama lho. Sorry ya, Ci,” seru Theo lagi dengan nada ceria, seakan nggak ada apa-apa di antara mereka.
“Halo… halo Ci… halo…” suara Theo bergema di kepala Cia. Cia membiarkan air matanya bergulir di pipi. Matanya perih, dadanya terasa sangat sesak. Perlahan ia terisak. Tidak mengira keputusannya untuk menjalin hubungan tanpa status ini telah menyakiti dirinya sendiri.***
Minggu, 07 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar